Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan adalah
pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga
negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas
kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua
asas kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis.
Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan
asas persamaan derajat.[19]
Untuk lebih jelasnya satu
persatu asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Terdapat
dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius
soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa latin. Ius
berarti hukum, dalil atau pedoman sedangkan soli
berasal dari kata solum yang berarti
negeri, tanah, atau daerah. Sehingga ius
soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Kaitannya dengan
asas kewarganegaraan, ius soli berarti
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Orang yang lahir
di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X tersebut. Asas yang ke
dua adalah ius sanguinis berarti
pedoman yang didasarkan kepada darah atau keturunannya atau orang tuanya . Orang
yang lahir dari orang tua warga negara Y akan memperoleh kewarganegaraan dari
negara Y itu.
Terdapat
negara yang menganut asas ius soli,
dan ada pula yang menganut asas ius
sanguinis[21].
Dewasa ini umumnya kedua asas ini dianut secara simultan. Perbedaannya, ada
negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli
sebagai kekecualian[22].
Sebaliknya terdapat pula penggunaan asas ius
soli , dengan ius sanguinis sebagai kekecualian.
Penggunaan
kedua asas secara simultan ini dimaksudkan untuk menceagah status apatride
atau tidak berkewarganegaran (stateless).
Artinya apabila terdapat seseorang yang tidak memperoleh kewarganegaraan dengan
penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih
dapat memperoleh kewarganegara dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
Kondisi
sebaliknya jika sebuah atau beberapa negara menganut asas kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah bipatride
atau dwi kewargenageraan (berkewarganegaraan ganda), bahkan multipatride
(berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua). Sebagai contoh, Negara X
menganut asas ius sanguinis, sedangkan negara Y menganut asas ius
soli. Maka setiap orang yang lahir di negara Y dari orang tua yang
berkewaganegaran X, akan mempunyai status baik sebagai warna negara Y maupun
negara X, karena ia keturunan warga negara X, ia pun memperoleh status warga
negara Y, karena ia lahir di negara Y.
Jika
seseorang lahir di negara X dari orangtua warga negara Y, ia akan berstatus
apatride. Ia ditolak oleh negara orang tuanya (negara Y), sebab ia tidak lahir
di sana.Ia pun ditolak oleh negara tempat ia lahir (negara X), karena negara
tersebut menganut asas ius sanguins.
Artinya menurut ketentuan negara X, ia seharusnya memperoleh kewarganegaraan
dari negara orang tuanya.
Pada
mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli,
karena hanya beranggapan bahwa karena lahir suatu wilayah negara, logislah
apabila seseorang merupakan warga negara dari negara tersebut. Akan tetapi
dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang
tidak terbatas pada tempat kelahiran semata. Orang tua tentu masih mempunyai
ikatan dengan negaranya sendiri. Masalah akan timbul ketika kewarganegaraan
anaknya berlainan dengan kewarganegaraan orang tuanya sendiri. Anak memperoleh
kewarganegaraan dari tempat ia dilahirkan , sedangkan orang tuanya tetap
berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas yang baru,
yaitu ius sangunis tersbut. Dengan
asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orangtuanya.
Sebagian
besar negara imigratif pada prinsipnya
lebih menggunakan ius soli sebagai
asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warga negaranya banyak merantau ke negara
lain) cenderung menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu negara
yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganegaranya. Negara
emigratif ingin tetap mempertahankan warga negaranya. Di manapun mereka berada,
mereka tetap merupakan bagian dari warga negaranya. Sebaliknya negara imigratif
menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negara yang
baru itu.
Melalui
perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat.
Sebuah perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan
seseorang. Masalah kewarganegaraan dalam konteks ini akan muncul apabila terjadi
suatu perkawinan campuran,yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para
pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Munculnya kedua asas ini berawal dari
kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran itu.
Asas
kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami isteri ataupun ikatan dalam keluarga.
Keluarga merupakan inti masyarakat dan masyarakat akan sejahtera apabila
didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak terpecah. Kehidupan suami
isteri yang baik mencerminkan satu kesatuan keluarga yang utuh dan harmonis, dan
ini tercipta karena terdapatnya satu kesatuan yang utuh dan bulat dalam
keluarga, dan untuk mencapai kesatuan dalam keluarga diperlukan satu kepatuhan
terhadap hukum yang sama.
Terdapat
nilai-nilai positif dari penyelenggaraan kehidupan keluarga tersbut apabila para
anggota keluarga itu tunduk pada hukum yang sama, misalnya dalam masalah
keperdataan: pengaturan harta kekayaan, status anak, dan lain-lain. Karena itu
akan baik dan bahagia sebuah rumah tangga jika dalam keluarga tersebut memiliki
kewarganegaraan yang sama yang secara otomatis tunduk pada satu hukum yang sama.
Permasalahannya,
siapakah yang harus mengikuti kewarganegaraan pasangannya? Apakah suami harus
mengikuti kewarganegaraan isterinya ataukah sebaliknya? Pada kedua sisi ini
dapat saja kedua-duanya terjadi sebagai satu pilihan. Akan tetapi dalam praktik
pihak isterilah yang mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Sebagai
reaksi dari penggunaan asas ini, muncul satu bentuk protes dari kalangan
perempuan yang menganggap bahwa dengan asas ini seolah-olah atau kaum perempuan
berada pada derajat yang bawah atau bertentangan dengan prinsip emansipasi
wanita yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan. Dalam prinsip emansipasi
wanita, laki-laki sama saja dengan perempuan dan tidak mau untuk dibeda-bedakan.
Sebagai reaksi dari rasa ketidakadilan ini muncul asas baru yaitu asas persamaan
derajat.
Pada asas
persamaan derajat ini ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan
berubahnya satus kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik pihak suami maupun
pihak isteri tetap memiliki kewarganegaraan asalnya, sama ketika mereka
melangsungkan perkawinan.
Dari sisi
kepentingan nasional masing-masing negara asas persamaan derajat ini mempunyai
aspek yang positif. Asas ini jelas dapat menghindari terjadinya penyelendupan
hukum. Misalnya, seseorang yang
berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh status warga negara tertentu
berpuran-pura melakukan perkawinan dengan seorang warga negara dari negara yang
dituju. Melalui perkawinan itu, orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang
diinginkan. Setelah status kewarganegaraan diperoleh, maka dapat saja bercerai
kembali. Untuk hal ini banyak negara mengatur masalah penggunaan asas ini dalam
peraturan kewarganegaraannya.
Seperti
halnya asas ius soli dan ius
ius sanguinis, penggunaan dua asas kesatuan hukum persamaan derajat yang
berlainan dapat menimbulkan status bipatride
dan apatride, khususnya bagi wanita. Melalui perkawinan seseorang wanita
dapat mempunyai kewarganegaraan lebih dari satu. Sebaliknya melalui perkawinan
pula seorang wanita dapat kehilangan kewarganegaraannya.
Sebagai
contoh: Negara X menganut asas kesatuan hukum, sedangkan negara Y menganut asas
persamaan derajat. Jika seorang laki-laki warga negara X menikah dengan seorang
wanita yang berkewarganegaraan Y, si wanita akan berkewarganegaraan rangkap (bipatride),
karena menurut ketentuan negara Y ia tidak diperkenankan untuk melepaskan
kewarganegaraannya (warganegara Y). Sementara
itu menurut ketentuan dari negara suaminya (negara X) ia harus menjadi
negara X mengikuti satus suaminya.
Akan
terjadinya sebaliknya jika seorang wanita negara X sementara suaminya
berkewarganegaraan Y, ia akan memiliki status apatride. Ia ditolak oleh negara
suaminya (negara Y), karena menurut ketentuan negara Y suatu perkawinan tidak
menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Sedangkan di
negaranya sendiri (negara X) kewarganegaraannya telah lepas, karena
perkawinannya dengan laki-laki asing, ia harus melepaskan kewarganegaraan X-nya
untuk mengiukti kewarganegaraan suaminya.
Di samping
asas-asas tersebut di atas dalam menentukan kewarganegaraan dipergunakan dua stelsel
kewarganegaraan,yaitu[24]:
(a) stelsel aktif; dan (b) stelsel
pasif. Menurut stelsel aktif orang
harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif menjadi warga
negara. Menurut stelsel pasif orang
dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakuakn sesuatu tindakan
hukum tertentu.
Berhubungan
dengan ke-dua stelsel tersebut maka
harus dibedakan: (a) hak opsi,yaitu
hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan (b) hak repudiasi,
yaitu hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar